Pakar Hukum Soroti Platform Digital dan Penyiaran Terkini

Perkembangan teknologi membawa perubahan besar di industri media. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas revisi UU Penyiaran digelar di Gedung Nusantara II DPR RI. Acara ini menekankan pentingnya penyesuaian regulasi di era modern.
Ignatius Haryanto Djoewanto, dosen FIKOM UMN, menyatakan perlunya aturan khusus untuk platform digital. Menurutnya, konten di internet membutuhkan pendekatan berbeda dibanding siaran konvensional.
Industri penyiaran tradisional menghadapi tantangan serius. Data menunjukkan pendapatan iklan TV turun Rp3 triliun pada 2023. Hal ini mempertegas urgensi pembaruan kebijakan.
Tiga ahli hadir memberikan masukan: Ignatius Haryanto, Andina Thresia Narang, dan Abraham Sridjaja. Mereka sepakat perlu keseimbangan antara perlindungan konsumen dan ruang untuk inovasi. Perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran dan platform menjadi fokus pembahasan.
Perkembangan Terkini Regulasi Platform Digital dan Penyiaran
Era digital membuka babak baru dalam tata kelola konten di Indonesia. Kebutuhan akan pengaturan yang adaptif semakin mendesak, terutama untuk melindungi identitas budaya.
Pentingnya Undang-Undang Khusus untuk Platform Digital
Ignatius Haryanto menekankan perlunya alokasi pendapatan platform untuk konten lokal. Saat ini, UU ITE dan Permenkominfo dinilai belum cukup menangani kompleksitas ranah digital.
Contoh nyata terlihat dari dominasi konten asing di layanan streaming. Tanpa undang-undang khusus, produksi lokal sulit bersaing.
Perbedaan Mendasar antara Penyiaran dan Platform Digital
Media konvensional terikat aturan ketat seperti UU Penyiaran. Sementara itu, platform digital berbeda karena mengandalkan pedoman komunitas.
Perbedaan teknologi dan model bisnis juga memengaruhi pengaturan. Misalnya, algoritma platform seringkali tidak transparan.
Meski begitu, Ignatius menegaskan bahwa ruang digital bukanlah “zona bebas hukum”. Mekanisme penghapusan konten sudah ada, tetapi perlu diperkuat.
Pandangan Pakar Hukum tentang Revisi UU Penyiaran
Tiga perspektif berbeda muncul dalam pembahasan revisi undang-undang penyiaran. Para ahli memberikan masukan kritis tentang perlunya penyesuaian aturan di era modern ini.
Ignatius Haryanto Djoewanto: Perlunya Pembeda Regulasi
Ignatius menekankan pentingnya perbedaan pengaturan antara media konvensional dan modern. “Lembaga penyiaran publik harus menjadi prioritas dalam revisi ini,” tegasnya.
Dia mengusulkan alokasi pendapatan dari platform online untuk mendukung produksi lokal. Hal ini dinilai penting untuk menjaga identitas budaya Indonesia.
Andina Thresia Narang: Urgensi Perlindungan Generasi Muda
Anggota komisi DPR ini menyoroti bahaya konten negatif di media digital.
“Kita melihat banyak tayangan live streaming yang mengandung ujaran kasar dan promosi rokok,”
ujarnya.
Andina mengusulkan transparansi algoritma untuk memprioritaskan materi edukatif. Sistem saat ini dinilai membentuk filter bubble yang berbahaya bagi perkembangan anak.
Abraham Sridjaja: Tantangan Definisi dan Ko-Regulasi
Abraham memperingatkan potensi tumpang tindih dengan UU ITE terbaru. Revisi penyiaran harus menghindari duplikasi pasal pidana yang sudah diatur undang-undang lain.
Dia juga mengkritik konsep ko-regulasi yang bisa memperluas kewenangan lembaga pengawas. Menurutnya, hal ini berpotensi membatasi kreativitas produser konten lokal.
Ketiga ahli sepakat bahwa pembaruan aturan perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Keseimbangan antara pengawasan dan kebebasan berekspresi menjadi kunci utama.
Tantangan dan Kompleksitas Regulasi di Era Digital
Perubahan pola konsumsi informasi menciptakan masalah baru dalam tata kelola konten. Industri penyiaran tradisional harus beradaptasi dengan cepat sementara aturan belum sepenuhnya mengejar perkembangan teknologi.
Transparansi Algoritma dan Konten Lokal
Sistem rekomendasi di platform online seringkali tidak memprioritaskan materi lokal. “Algoritma harus lebih terbuka agar UMKM dan budaya daerah mendapat panggung,” jelas seorang analis dalam diskusi terbaru.
Data menunjukkan hanya 28% konten populer di layanan streaming berasal dari produser dalam negeri. Hal ini memperlebar kesenjangan eksposur.
Kesenjangan Pengawasan antara Media Konvensional dan Digital
Lembaga penyiaran televisi diawasi ketat oleh KPI dengan sanksi jelas. Sementara itu, platform digital mengandalkan sistem laporan mandiri yang kurang efektif.
Contoh nyata terlihat dari maraknya siaran langsung berisi iklan terselubung. Tanpa pengawasan memadai, konsumen rentan terkena dampak negatif.
Ancaman terhadap Media Penyiaran Tradisional
Pendapatan iklan televisi turun drastis sebesar Rp3 triliun tahun lalu. Di sisi lain, pemasaran digital tumbuh 23% pada periode sama.
Wilayah 3T masih 72% bergantung pada siaran konvensional. Jika tren ini terus berlanjut, akses informasi masyarakat terpencil bisa terancam.
Undang-undang baru perlu mempertimbangkan aspek geografis dan ekonomi secara menyeluruh. Keseimbangan antara inovasi dan perlindungan menjadi kunci utama.
Kesimpulan
Pembaruan regulasi di sektor media menjadi kebutuhan mendesak. Tiga ahli sepakat perlunya pemisahan aturan antara siaran tradisional dan layanan modern.
Rekomendasi utama mencakup dua hal. Pertama, pembuatan undang-undang khusus untuk layanan online. Kedua, revisi UU yang ada agar lebih adaptif.
Proses ini harus melibatkan semua pihak terkait. Seperti diungkapkan dalam diskusi terbaru, sinergi antara legislatif, eksekutif, dan akademisi sangat penting.
Tantangannya adalah menciptakan keseimbangan. Di satu sisi, perlindungan konsumen dan konten lokal perlu diperkuat. Di sisi lain, inovasi tidak boleh terhambat.
Dengan pendekatan tepat, Indonesia bisa membangun ekosistem media yang sehat. Sistem yang melindungi tanpa membatasi kreativitas.
➡️ Baca Juga: Temukan 8 Restaurant Brunch Hits Akhir Pekan Terbaik
➡️ Baca Juga: Update Dunia Desain Digital: Dari AI Sampai AR yang Mengubah Cara Kita Membangun Website